Kesetiaan dalam “Setetes Darah” admin, June 16, 2024 Ketika Ibrahim lagi senang-senangnya kepada Ismail, sang anak yg begitu dirindu-dambakan kehadirannya setelah sekian lama menunggu dalam kekhawatiran karena tidak adanya penerus dari nubuwwah-risalah Nya. Saat itu dia sempat berpikir kemudian menaruh “curiga” kepada wahyu mimpinya yang mengisi malam-malam sucinya. “apakah Tuhan sengaja “menggoda” saya dengan memerintahkan untuk menyembelih anak semata wayangnya, sesuatu yang jauh dari kewajaran kemanusiaan; sesuatu yang jauh dari sifat utama Nya?”…..”atau jangan-jangan ini adalah penyesatannya setan karena ia tidak ingin ada penerus kerasulannya dalam membumikan agama Tuhan di atas dunia ini”. Dalam beberapa saat, sisi kemanusiaan Ibrahim bergulat dan berperang untuk mengiyakan dan menidakkan titah dari mimpinya tersebut. Tapi setelah mimpi-mimpi itu terulang dalam setiap tidur holistiknya, barulah ia yakin bahwa memang itu adalah kebenaran Tuhan yang harus dijalani dengan husnuzzan dan tawakkal. Dan akhirnya, sejarah fenomenal-kontemplatif tersebut menjadi landasan dari ibadah Qurban. Menarik untuk kita telisik, kenapa Tuhan memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail, kenapa bukan sesuatu yang “wajar” untuk dikurbankan seperti hewan, harta benda, ataupun hasil-hasil pertanian seperti yang terlakukan oleh pendahulunya Qabil dan Habil. Disini rupanya Tuhan ingin menguji kadar dan tingkat kesetiaan Ibrahim kepada Nya. Karena bagi orang tua, anak adalah sesuatu yang paling berharga dibanding dengan apapun di atas dunia ini. Orang tua rela mengucurkan keringat darah dan air mata untuk sekedar melihat anaknya bahagia dan berhasil kelak melebihi dirinya sendiri. Ternyata sisi kemanusiaan Ibrahim sempat membuatnya “ragu” untuk menunaikan perintah Tuhan tersebut. Tetapi karena ia adalah “bapaknya” agama tauhid, keragu-raguan itu bisa ia jinakkan dengan positive thinking bahwa Tuhan pasti akan menggantikan sesuatu yang lebih baik ke depan jika memang nanti Ismail sudah tidak ada lagi. Di sisi lain Ibrahim juga yakin dan sadar bahwa apa yang dia punyai saat ini adalah sekedar titipan yang suatu saat pasti akan diambil oleh yang Punya. Dan ia juga tidak ingin apa yang dia punyai saat ini menjadi “penghalang” dalam mendapatkan keridhaan Tuhan. Akhirnya, sejarah ketuhanan-kemanusiaan pun tergelar dan membuktikan bahwa memang makhluk yang namanya “manusia” adalah bukan sesuatu yang layak untuk dimusnahkan —sebagaimana praktek dari “agama-agama” terdahulu yang menjadikan tokohnya, perempuan-perempuannya, anak-anaknya sebagai persembahan kepada dewa/tuhan mereka —, tetapi ia adalah makhluk kesempurnaan Tuhan yang harus dicerahkan dan diberdayakan sesuai dengan kecenderungan talentanya masing-masing. Sisi lain, sejarah ini juga menegaskan dan menyadarkan kita bahwa kehadiran dan keberadaan Tuhan dalam pikiran, hati, dan nurani kita adalah segala-galanya. Meminjam statementnya Rumi, “Kau adalah aku dan aku adalah Kau”. Wallau a’lamu bisshawab artikel